Senin, 30 Maret 2009

Kembalikan Masa Remajakuuu! ・私の青春を返せぇぇ

Ini adalah pengakuan saya.

Yang pertama kali mencetuskan semangat saya belajar Nihongo,
setelah lama bersentuhan dengan serpihan budayanya di sana-sini,
bukanlah sanggul Oshin yang sejak kecil saya tiru tiap hari Kartini.
Bukan katana Musashi yang tegangannya saya ukur dengan teliti.
Bukan Kokoro no Tomo yang begitulah bunyinya,
bukan pula hitungan senam pagi.

Yang pertama kali mencetuskan semangat saya belajar Nihongo,
walaupun sekadar sepintas lalu iseng-iseng berhadiah,
tanpa ada bayangan akhirnya benar-benar akan mampir ke sana
dan berkutat dengan huruf-huruf keriting yang meliuk-liuk meriah,
hanyalah sederet katakana sederhana. ド・ラ・ゴ・ン・ボ・ー・ル・
Oh, bahkan itu pun bukan Bahasa Jepang!

Apalah yang bisa diharapkan, dari sebuah cerita iseng
dengan tokoh-tokoh yang diberi nama aneka jenis nasi goreng,
celana dalam, alat musik ditambah sayur-mayur?
Saya mengerti betul, ini manga picisan.
Parodi Star Wars dan komik superhero, dikemas legenda Cina.
Hah, bahkan itu pun bukan cerita Jepang!

Tapi apa boleh buat, justru nama-nama gak penting yang aneh,
unik, dan tanpa penjelasan terjemahan lebih lanjut itulah
yang membuat saya penasaran, mengeja huruf mengulik kamus.
Semacam pelampiasan pemberontakan masa remaja.

dbmovie









!!!



Ini juga adalah dunia tempat segala permasalahan fana
baik persaingan, permusuhan ataupun kisah cinta,
urusan keluarga, politik kekuasaan, sampai agama,
cukup diselesaikan dalam satu lapangan olah raga.

Dengannya kita mempermainkan istilah "Tuhan telah Mati."
dan diam-diam membentuk semacam pola pikir yang berani
melabrak batasan-batasan langit, dengan kekuatan sendiri,
terlepas dari keajaiban yang disuguhkan mustika naga.

Demikianlah, film komik (dan manga) sedang jaya di dunia.
Baik yang mantap tokoh ceritanya, maupun yang keren pemerannya.
Dragonball perlu dapat kesempatan.

Saya menyerah, bahwa sudah tidak mungkin manga ini ditampilkan
dengan setia mengikuti panel demi panel sentuhan artistik aslinya
sebagaimana diusahakan oleh 20th Boys, Death Note, atau Watchmen.
Semua itu manga/komik yang digambar dengan proporsi realistis,
sementara Dragonball jelas terdistorsi.

Saya siap merelakan seandainya film ini disusun seperti Wanted,
yang walaupun mengubah habis alur demi menyesuaikan nilai moral,
dan mengabaikan wajah "Eminem" dan "Halle Berry" berganti menjadi
(eurgh) wajah James McAvoy dan Anjijo, bisa tampil prima
menyentuh hati dengan tetap menangkap intisari komiknya.
(Memang saya agak kehilangan tokoh brilian Kepala Tahi yang bisa
"mengeras sebebal s@mb@lit atau melunak seencer m@ncr@t",
tapi toh dengan ketiadaannya, kita tidak perlu mengorbankan
selera makan demi menontonnya.)


Dengan demikian, saya tidak mempertanyakan ke mana Awan Kinto,
galah penjemur, kacang ajaib, Menara Karin atau Tenka Ichi Budokai,
walaupun garuk-garuk kepala mempertanyakan sepotong ekor.
Saya terima jurus bayangan bangau menjadi milik kakeknya Goku,
bukan Tsurusennin, Ten Shin Han, Chaozu atau Tao Bai-Bai,
walaupun sedikit merasa kehilangan Klilyn, Woolong dan Puaru.
Saya menghargai pilihan babak yang melibatkan Piccolo Daimao,
karena dari sanalah inti cerita Dragonball yang serius dimulai,
walaupun tak habis pikir mengapa dia jadi yang mengutus Oozaru.

Saya abaikan bocoran-bocoran naskah yang membuat kecut,
sembari masih berharap sia-sia untuk bisa dibuat terkejut,
selain penampilan Bulma yang rambut biru mudanya hanya sejumput
dan tampak cantik cerdas dan sigap tanpa masalah lemak perut.
Saya kuatkan hati untuk menontonnya, mengantarkannya,
sambil bersaksi, How Low can You Go???

http://dragonball.saiyanisland.com/

Chichi tampak lebih ahli bela diri, dan malah mengajar Goku.
Bolehlah. Suatu usaha mengangkat harga diri cewek.
Tapi oh tapi oh tapi...
Dragonball itu, biarpun penuh kekerasan dan tindak pelecehan,
paling parah juga hanya dihias cipika-cipiki anak kecil!
Sikap sang pengarang yang menjaga tabu Asia, dilanggar di sini!

piccoloshock Sungguh teganya-teganya-teganya
sang penulis skenario,
menimpa kisah cinta Goku-Chichi yang lugu
ke situasi teenflick a la Gohan-Fidel versi holiwut.
Goku yang seharusnya polos jujur blak-blakan,
menjadi tokoh kaku, garing, gak gaul,
dan digencet di sekolah?
Ini penghujatan! Bid'ah!!!
***

Sangat bersyukur ketika menemukan Piccolo Daimao tetap hijau,
karena diperjuangkan habis-habisan oleh pemerannya yang sok tahu.
Tapi oh tapi oh tapi...
Latar belakang cerita yang kacau-balau!!!
Dan pakaian norak apaan itu, kevlar plus tudung rapper?
Mana arsitektur khas makhluk Namec?

piccoloshockSungguh teganya-teganya-teganya
sang penulis skenario,
memampatkan watak penjahat Pilafu dan Freeza
sekaligus ke tokoh kharismatik paduan Spock-Yoda!
Pantasan, film ini ternyata diwujudkan
berdasarkan stok skenario gagal,
demi mengisi kekosongan pekerja film
akibat writer's strike.
***

Apa yang bisa dihargai dalam film ini?
Full body contactnya tidak hebat amat. Kalah jauh dari Tony Jaa.

Baiklah, bahwa si Goku dipanggil Geeko,
itulah satu-satunya terobosan yang berhasil dalam cerita ala Amerika.
Bintang satu, hanya untuk itu saja.

Holiwut! 20th century fox! KEMBALIKAN MASA REMAJAKUUU!!!

Terkait:
http://bambumuda.blogspot.jp/2008/06/mangaz-movies.html

Sabtu, 28 Maret 2009

Satu Jam Saja

Katanya malam ini Earth Hour, aksi memadamkan lampu selama satu jam. Tapi kebetulan saya mengintil adik dan sepupu-sepupu menghadiri acara Pecha-Kucha, yang dimulai sekitar pukul 8 malam sampai selesai. Sebuah kegiatan produktif yang tidak bisa diabaikan begitu saja, dan keremangan Labo no Mori jelas butuh penerangan listrik yang nyata.

Kenapa sih acara seperti ini dibedakan lagi dengan Hari Raya Nyepi, kenapa gak sekalian satu hari penuh... Kenapa bukan untuk seterusnya saja, mempertimbangkan burung-burung dan serangga yang dikacaukan petunjuk arahnya oleh sinar artifisial... diselaraskan dengan fenomena antariksa seperti lewatnya komet, gerhana bulan, bintang jatuh, atau Tanabata... Kenapa rasanya ini hanya sekadar kegiatan hedon basa-basi yang akan segera terlupakan di detik berikutnya?

Sabtu, 14 Maret 2009

Quis custodiet ipsos custodes?

W h o . W a t c h e s . t h e . W a t c h m e n ?

*** Komik alias Novel Grafiknya ***


http://www.dccomics.com/sites/watchmen/

Gambarnya bagus, ceritanya sangat daleummm, tapi... mengganggu. Bagi saya yang saat membacanya masih remaja, bikin stress berat. Mungkin kalau saya baru menemukannya setelah lewat tengah baya, akan sangat mengena.

Sebuah kisah terperinci mengenai berbagai segi post-power syndrome dua generasi pahlawan bertopeng, yang berusaha sekuat tenaga menegakkan kebenaran keadilan dan kemanusiaan di dunia ini.
Kebenaran Keadilan dan kemanusiaan seperti apa?

ozymandias Bagi saya sampai saat ini, moral objektif seperti yang dianut Rory. Tapi mungkin kalau sedang bete, selera humor Comedian bisa cocok. Sedangkan kalau sempat menggunakan kecerdasan untuk meraup banyak duit, logika Ozy akan lebih diterima. Si Doc ga usah diperhitungkan, anggap saja dia sudah bukan manusia lagi (yah setidaknya dia menambah jajaran makhluk-makhluk biru selain Smurf dan Doraemon). Yang dua lagi sih, peduli amat.

Agak sulit membahasnya, karena komik ini merupakan kritik cerdas terhadap genre superhero, sementara saya sendiri belum sanggup memperbandingkannya dengan komik-komik superhero lainnya. Ya, beberapa tokoh bisa saya kenali, mirip siapa, menyindir siapa. Tapi belum yang lainnya. Karena saya mengalami masa balita dalam timbunan bande dessinée, dan masa kanak-kanak kebanjiran manga, tidak pernah benar-benar terjerumus ke dalam komik khas Amerika.

Yang membuat saya mulai membacanya bukanlah karena komik ini masuk ke dalam jajaran seratus novel terbaik versi majalah Time, atau karena menang penghargaan Hugo Award, atau memberi polesan nama baru terhadap komik sebagai "graphic novel", tapi semata gara-gara di diskusi alt internet (masa awal-awal globalisasi tuh) orang-orang Amerika yang juga berpengalaman membaca manga & bande dessinée, ternyata masih meletakkan Watchmen ke dalam urutan teratas. Wah, komik mana pula yang dinilai melampaui Akira, Tintin dan Kaze no Tani no Nausicaa? Penasaran tentunya.

Yang saya paling suka, adalah narasi bertingkat melalui komik bajak laut (tentu saja, secara BAJAK LAUTTT gitu loh!!!) yang dibaca seorang anak nongkrong setiap hari di kios majalah. Di tempat lain terjadi berbagai aksi, di sini dia diam bergeming tapi dengan kepala penuh petualangan. Mungkin itulah yang dialami pembaca komik ini, ketika di belahan dunia lain sedang terjadi segala macam peristiwa.

Akhir ceritanya agak aneh, tapi memang fenomenal.
Sayang agar tidak membingungkan, sang gurita diganti dalam film.
Bahkan HITLER pun kecewa terhadap perubahan ini.

*** Film Layar Lebarnya ***


http://watchmenmovie.warnerbros.com/

Kalau bukan karena the beginning is the end is the beginning yang jadi OST teasernya serasi banget dengan suasana yang dibangun (mengesampingkan kenyataan bahwa kembaran dari lagu ini pernah muncul di film gagal), atau viral marketingnya yang lumayan menarik di The New Frontiersman dengan slogan "Better Blue than Red", atau lomba iklan Veidt di youtube dst, saya gak akan memaksakan diri untuk menonton sesegera mungkin, apalagi saya sempat risih menonton trailernya bahwa Rory membisikkan satu kata yang seharusnya tak terucap, "Watchmen... one of us died tonight."


Sang sutradara tampak berusaha menampilkan bingkai demi bingkai sepersis komiknya, tapi di sana-sini juga menambahkan beberapa dialog pengantar demi mempermulus alur cerita yang diringkas, dan memasukkan secuil info yang seharusnya diperoleh melalui sisipan dalam berbagai bentuk metafiksi yang tampil di sela-sela komiknya.
Sayang sekali dalam hal ini komik bajak lautnya dilepas sebagai satu sesi animasi khusus, dan tidak dapat dijalin ke dalam cerita aslinya. Juga rentetan kilas balik Silk Spectre yang tercetus oleh berbagai adegan yang melibatkan cipratan air, yang saya sangka sudah sangat sinematis, sama sekali tidak terwujud dalam film ini.
Veidt sejak awal tampil sebagai orang yang tampak menyebalkan dari sudut senyumannya, sehingga segala logika niat baiknya yang salah kaprah jadi terabaikan dan tidak dapat dipahami dengan besar hati.
Selain itu luka di wajah Eddy Blake hanya menjadi carut biasa, tidak sampai menyobek mulut seperti Togog, tentu karena terlanjur keduluan oleh Joker versi The Dark Knight. Percikan darah di lencana smileynya juga tidak berbentuk sebagaimana mestinya.
Yang patut diacungi jempol, topeng Rorschach yang berubah setiap saat dan Walter Kovacs yang diperankan begitu memukau. Anehnya ketika dia mati, Nite Owl menyaksikan dengan jelas. Seharusnya sahabat baik hanya hidup tenang kalau tidak tahu apa yang terjadi.
Memang menjadi tantangan, bagaimana mungkin film ini mampu menampilkan segala kerumitan yang disampaikannya secara tetap kompak dalam format yang berbeda dari komik?

Masalahnya ternyata banyak orang yang belum kenal siapa Watchmen, sehingga menyangka mereka ini pahlawan di lingkungan tetangga yang ramah pada anak kecil seperti kartun-kartun Sabtu pagi, sehingga berbondong-bondong membawa bayi balita ikut menonton.

Minggu, 08 Maret 2009

Perempuan, Pelawak, dan Politisi

Beberapa waktu lalu, kawan-kawan LFM membahas sebuah fenomena menarik, mengenai pelawak perempuan.
Kesimpulannya, perempuan yang lucu, pasti terkesan maskulin, atau ternyata lesbian. Lucu dan cerdas sebagai sifat perempuan dianggap ancaman yang mengganggu. Perempuan yang lucu akan kehilangan daya tarik di mata lelaki. Sedemikian rupa, bahwa lucu adalah sifat lelaki; lawak adalah dunia lelaki.

Karena yang dibahas berkaitan dengan fenomena perfilman dan televisi, saya belum tahu apakah ini nilai-nilai ini hanya berlaku di dunia Barat atau juga di dunia Timur. Apakah menjadi lucu juga merupakan tabu bagi perempuan Indonesia? (Kalau di Jepang sih sudah jelas, pelawak lelaki hampir pasti berhasil memperistri selebriti perempuan tercantik yang pernah ada...)

Tapi bukankah menurut Teori Pagliacci, justru pelawak itu yang hidupnya paling tertekan? Terbukti, pelawak rata-rata cepat mati!!! Apa salahnya kaum perempuan cukup menjadi pihak yang menikmati tertawa dengan bahagia tanpa harus melucu sampai menderita.

Begitu pula dengan politik. Katanya oh katanya oh katanya,
  • Politik itu seharusnya adalah perihal saling mengalah, tarik ulur kebijakan agar memuaskan semuanya, namun karena terlalu didominasi kaum lelaki, kerangka tersebut bergeser menjadi perihal menang dengan segala cara.
  • Sementara itu,
  • Lelaki yang sebenarnya berpihak kepada hak-hak perempuan dan anak-anak mungkin segan bersuara karena takut disangka banci, kalaupun nekad lantang membela akan dianggap remeh dan diabaikan lelaki lainnya.
  • Sehingga,
  • Banyak gerakan solidaritas beranggapan bahwa perempuan perlu turun tangan memperjuangkan hak kaumnya sendiri, sekaligus memberi 'sentuhan feminin' untuk menetralkan politik kembali kepada khittahnya.
  • Sebaliknya,
  • Perempuan keburu jengah masuk ke dunia politik yang kepalang penuh kekerasan persaingan kekuasaan, merasa itu bukan dunia mereka.

Dengan demikian, perempuan yang berhasil masuk dengan sukses ke dunia politik hanyalah:
  • Perempuan yang sanggup memenuhi tuntutan untuk bersikap maskulin, setara dengan rekan dan lawan mereka yang lelaki;
  • Perempuan yang mengumbar sisi feminin untuk dilecehkan lelaki sekitar, yang penting tenar, tak ada kaitan dengan kinerja;
  • Perempuan yang berada di bawah bayang-bayang sosok maskulin lain; ayah, abang, atau suami...

Baik dalam politik maupun karier, calon perempuan menghadapi tantangan dari dua arah:
  • Lelaki (dan sebagian besar kaum perempuan) cenderung tidak memilih perempuan walaupun sesungguhnya mereka punya kemampuan yang memadai, semata karena alasan emosional; sayang sekali mereka adalah perempuan...
  • Sesama perempuan (dan lelaki yang sadar kesetaraan) cenderung tidak memilih perempuan karena alasan rasional; kebetulan kemampuan mereka masih sedikit di bawah lelaki akibat sempitnya kesempatan mengasah diri.

Oleh karena itulah, menurut sebagian kalangan, aksi afirmasi dalam hal gender masih dibutuhkan di Indonesia. Ini perlu dimulai dari pemilihan anggota legislatif.
Konon, rekam jejak anggota legislatif perempuan cenderung lebih bersih dari lelaki. Entahlah karena:
  • Perempuan cenderung lebih jujur dan alim daripada lelaki;
  • atau
  • Perempuan yang hanya segelintir ini berhati-hati, takut ketahuan macam-macam karena disorot khusus;
  • atau
  • Perempuan bekerja cukup lihai dan cerdik, sehingga jejak kebusukan segera tertutupi dengan rapi jali. Nah lho!


Y: The Last Man


(Sudah pada baca belum? Bagus sekali lho, bintang 5 lah.)
Dalam serial komik asyik yang saya tamatkan akhir tahun lalu ini, digambarkan sebuah dunia di mana nyaris semua makhluk berkromosom Y musnah karena satu atau lain hal (ada cukup banyak penjelasan mengenai penyebabnya,yang bisa dipilih sesuai selera, baik secara ilmiah, politis, ataupun religius).
Inti ceritanya adalah bahwa dari sudut pandang seorang cowok pecundang yang tersisa bersama seekor monyet jantan piaraannya, kita melihat bagaimana perempuan-perempuan berjuang untuk bertahan hidup tanpa belahan jiwanya.
  • Politisi yang juga merangkap ibu rumah tangga (euh, tegaan).
  • Ilmuwati yang menyaingi kejeniusan ayahnya (brilian!).
  • Tentara yang tak sudi mati di tangan sesama cewek (perkasa).
  • Supermodel yang ganti profesi jadi tukang gali kuburan (cihuy).
  • ... dan seterusnya.
ythelastmanKalian pikir, dengan musnahnya kaum lelaki, gen si pengacau sudah lenyap dari atas bumi? Tapi yang terjadi justru kekacauan di sana-sini. Apakah ini karena para perempuan telanjur terdoktrin sistem patriarki, sehingga mereka hanya bisa melanjutkan sistem tersebut dalam menggerakkan dunia? Ataukah pada dasarnya manusia ditakdirkan untuk mengacau, tanpa pandang jenis kelamin?
(Perlu dicatat bahwa skenarionya ditulis oleh lelaki, walaupun mendapat campur tangan perempuan ilustratornya juga...)

***

Perjuangkan nasib kaummu!


Seorang ibu-ibu caleg yang juga aktivis tiba-tiba bertanya, "Kenapa kamu tidak melakukan kajian mengenai perempuan? Sebagai elemen penting kedaulatan rakyat, perempuan kan perlu disorot secara khusus."
"Ha? Saya?" saya gelagapan dan mencari-cari alasan sok pintar. "Eugh, dalam hemat saya, keterpinggiran perempuan adalah masalah yang integral, sehingga tidak perlu dibahas khusus, bisa saja dicarikan jalan keluarnya dengan mengkaji persoalan sosial ekonomi politik secara menyeluruh."
"Kamu itu, belum pernah turun ke lapangan kali, ya?" tuduhnya. "Coba kamu lihat betapa sengsaranya PSK. Coba bayangkan nasibnya perempuan yang menikah dengan warganegara asing, lalu bercerai, mereka bisa kehilangan kewarganegaraannya kalau tidak kita advokasi. Belum lagi soal terpisah dari anak kandung..."
"Wah, tapi seperti saya bilang, itu kan masalah-masalah 'kecil' yang terjerumus lingkaran setan dengan persoalan kesejahteraan umum dan tingkat peradaban. Saya pribadi sih tidak pernah merasa tertindas... tohohoh..." ketawa pahit.
"Ini bukan main-main! Sebagai orang yang dapat privilege pendidikan tinggi, kamu wajib ikut terjun langsung. Lain kali coba menghadap saya secara khusus, kamu perlu saya TATAR untuk belajar memperjuangkan harkat dan martabat kaummu sendiri!"
... Duh. Kenapa jadi saya yang kena.

Padahal saya pribadi lebih merasa tertindas ketika menghadapi ibu-ibu yang cerewet, histeris, berlimpah estrogen dan progesteron, sedikit-sedikit pms, dan kebanyakan lemot pula. Huaaa, bisa habislah saya menjambak-jambak ujung kerudung. Bagaimana saya bisa diharapkan untuk peduli dengan kaum saya sendiri?

Sungguh, saya tidak (belum) pernah merasa tertindas oleh kaum lelaki. Entahlah itu karena:
  • Saya beruntung hidup di antara para lelaki yang menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak perempuan;
  • atau jangan-jangan malah
  • Saya sial hidup di antara para lelaki pecundang yang lebih rendah mutunya daripada perempuan di sekeliling mereka;
  • mungkin juga
  • Saya memilih lahan-lahan kegiatan yang tidak dilirik perempuan karena tanpa sadar takut kalah bersaing dengan sesama perempuan;
  • lebih parah lagi
  • Saya terbebas dari penindasan, hanya semata-mata karena kaum lelaki tidak menganggap saya perempuan;
  • tapi siapa tahu justru
  • Saya diam-diam mengalami sindroma Putri Padang Pasir...
    merasa bangga menjadi luar biasa dengan kedudukan langka setara dengan para lelaki, sehingga saya tidak ingin berusaha membantu perempuan lain mencapai kedudukan yang sama, karena itu akan menurunkan derajat saya menjadi biasa-biasa saja...


prankSeandainya turun berpolitik, jelas yang akan saya perjuangkan, tidak khusus soal perempuan.
  • Hak asasi orang-orang kidal.
  • Anak kucing dan hewan telantar dipelihara oleh kelurahan sekitar.
  • Jalur sepeda di jalan raya dan tol lintas kota.
  • Pelarangan peredaran MSG.
  • Penghijauan pemandangan kota, baik dengan daun, lumut, jamur, atau apa pun yang tumbuh dan berkembang.
Dan saya akan mulai berkampanye sederhana. Tak perlu banyak gaya.
Cukup sebut nama saya tiga kali!
Lalu koarkan janji sakti, "Pastikan Perubahan!!!"

Yang pada dasarnya bisa saja menuju perbaikan, tapi bisa juga pemburukan. Yang penting, berubah itu kan tidak membosankan.
***

Eh, sebentar. Kenapa jadi seurieus? Padahal maksudnya melucu.
Hm, tak apalah. Tandanya saya masih layak sebagai perempuan, kan?