Rabu, 28 Maret 2007

Peniru Kena Tiru

Satu kutipan dari 20th 21st CB:

"Tiruan dari tiruan yang asli kah......"

"Begitulah. Menjadi asli akan merugi. Yang menyalinnya pun masih belum apa-apa. Untuk menggenggam dunia, sudah dipastikan... Salinan dari salinan."

"Hmmm..."



Baru-baru ini, Makihara Noriyuki mengadukan balik Matsumoto Leiji yang telah menuduhnya menjiplak frase dari komik bekennya, Ginga Tetsudou (Galaxy Express) 999 secara terbalik di dalam lirik lagu terbaru Chemistry, Yakusoku no Basho.
時間は夢を裏切らない・夢も時間を決して裏切らない
Waktu tidak mengkhianati mimpi,
dan mimpi pun takkan pernah mengkhianati waktu.

Matsumoto Leiji sedang menjabat sebagai penanggung jawab masalah hak cipta di asosiasi komikus jepang, memperjuangkan perpanjangan masa berlaku hak cipta untuk manga dari 50 tahun menjadi 70 tahun. Takut kalau hak cipta terkhianati oleh waktu?

"Semua berawal dari meniru. Kau menyalin sesuatu, lalu menerapkan, meningkatkan, dan mengembangkannya menjadi sebuah ide. Tembok raksasa kreativitas muncul setelah proses itu. Kegagalan akan menimpa secara beruntun. Pastiche (seni yang merayakan tiruan) tidak pernah merupakan karya asli. Saya sepenuhnya menentang itu. Pastiche, kalau bukan untuk latihan, adalah plagiarisme. Merupakan suatu penghinaan terhadap seorang pencipta jika diberitahu bahwa karyanya 'mirip dengan sesuatu yang lain'.
Tak dapat dihindari adaptasi ide dari ratusan tahun yang lalu, tapi batas 50 tahun terlalu singkat dan terlalu mudah dikenali. 70 tahun itu pas-pasan. Saya telah bekerja selama 54 tahun, itu pun terasa sekejap mata."

Sebenarnya tarik-ulur hak cipta ini adalah isu antara pengarang dan produser, bukan antara pengarang dengan konsumen. Konsumen akan senang jika pengarang merasa aman terlindungi sehingga bersemangat menciptakan karya yang bagus, sementara karya kesayangannya tidak akan semena-mena dipelintir demi produk komersial semata.
Lepas dari masalah itu, Jepang pada dasarnya punya budaya khas "Monomane" sebagai bagian pertunjukan panggung Noh, dan diwariskan ke dunia hiburan televisi saat ini. Untuk peniruan yang lebih "ringan" ada Kasou Taishou (Masquerade) misalnya.

Sedangkan di Indonesia, negeri tempat tiru-meniru (dan pembahjackan) sudah menjadi kebiasaan, yang berhasil adalah parodi, meniru sambil menyindir puncak-puncak kekuasaan dengan cerdas, yang kemudian dipermasalahkan pula karena dianggap melecehkan...

Karya yang katanya buatan sendiri (otentik bukan orisinal), seperti Jomblo tersingkir dari kancah persaingan peringkat tayang, kalah mutlak dari berbagai macam sinetron jiplakan untuk pembodohan terstruktur yang terbukti ditonton bahkan oleh manusia-manusia kekar seperti polisi dan paspampres (menurut pengakuan mereka langsung...)

Namun terbukti memang untuk menguasai dunia, kita harus meniru tiruan.

Mou Gan Dou alias Infernal Affairs (2001, Hongkong) yang sebenarnya juga tidak terlalu orisinal, cenderung menafsirkan face off secara lebih harfiah, ketika dibuat ulang dengan sedikiiit sentuhan amerikanisasi menjadi The Departed (2006, Scorcese) bisa dapat penghargaan bergengsi toh (tolong jangan disamakan dengan nasib Ekskul: sebuah ekstrakurikuler).


© Fight Club

Kamis, 22 Maret 2007

Masjid Mungil di Padang Ilalang

Baru sempat berhasil menonton lengkap satu musim serial Kanada yang kabarnya sukses ditayangkan selama dua bulan terakhir.
Little Mosque on the Prairie
Berbagai isu hangat mengenai pemahaman dan penerapan Islam ditayangkan di acara ini, dalam kemasan komedi situasi dengan dialog-dialog yang lincah dan menggigit, serta kekonyolan yang ditimbulkan oleh kesalahpahaman budaya antara kedua belah pihak.
Judulnya merupakan pelesetan dari karya Laura Ingalls Wilder
(bacaan masa kecil: cuma suka seri 1, Rumah Kecil di Rimba Besar).

Yasir Hamoudi adalah seorang kontraktor Lebanon yang tinggal di sebuah kota kecil di Kanada, bersama istri tercintanya, Sarah, seorang muallaf bule yang bekerja sebagai sekretaris Wali Kota, Mayor Ann Popowicz.
Putri mereka nan jelita, Rayyan, adalah seorang dokter praktik di rumah sakit yang berkat pendidikan menjadi jauh lebih alim daripada kedua orang tuanya namun berpandangan progresif dalam memperjuangkan emansipasi muslimah.
Yasir menyewa paviliun gereja kepada pendeta Duncan Mc.Gee sebagai kantornya, namun diam-diam memanfaatkan ruangan demi mendirikan tempat ibadah dan silaturahim yang nyaman bagi komunitas muslim di sekitarnya.
Baber Siddiqui adalah seorang profesor ekonomi berwawasan fundamentalis, menganggap masyarakat sekelilingnya kafir, namun naluri keayahan membuat tak sampai hati memaksa putri remaja beliau, Layla, untuk berjilbab.
Selama ini Baber menguasai mimbar khutbah sampai digantikan oleh Ammar Rashid, seorang pengacara klimis baik hati (bertampang bollywood) dari kota besar Toronto yang meninggalkan kesempatan magang di firma ayahnya demi memenuhi panggilan hati untuk menjadi imam di pelosok sana. Perjalanan Ammar sempat terjegal di bandara karena ungkapan yang mudah disalahartikan seperti "bom bunuh diri".
Sementara itu, tantangan terhadap gerakan muslim menyebar dipanas-panasi oleh sang penyiar radio, Fred Tupper, yang biasa mengangkat segala hal kecil menjadi topik hangat, kini mulai mengarah pada masjid mungil tersebut sebagai sasaran.
Namun Fred dan para tokoh lainnya tak dapat menghindarkan diri untuk setiap saat bergaul di kedai kopi Fatima Dinssa, dukun amatir keturunan Nigeria, ahli memasak makanan tradisional yang sedap menggiurkan.




CBC, Little Mosque on the Prairie, episode 1-8 (youtube)


Ketika Tuhan Tertawa



Ada film tahun 2005 Looking for Comedy in the Muslim World, ceritanya pemerintah AS mengirimkan seorang pelawak kepepet, Albert Brooks ke India (dan Pakistan) untuk survei, membuat laporan 500 halaman mengenai apa yang membuat kaum muslim tertawa.
Ia terkejut mendapati tidak ada sama sekali klub komedi di India, gagal dalam penampilan panggungnya, hanya mampu mengumpulkan 6 halaman catatan penelitian, terperangkap dalam situasi yang membingungkan, dan dicurigai orang-orang.
Ia sempat besar hati ketika dipanggil jaringan media Al Jazeera, namun malah mendapat tawaran bermain di sitkom tentang ketololan orang Yahudi yang hidup di lingkungan kaum Muslim...


Setidaknya, dengan adanya LMotP, masyarakat melihat bahwa "ternyata Muslim bisa menertawakan diri sendiri".

Kalau di Indonesia, mungkin film dan sinetron Deddy Mizwar boleh dijadikan acuan. Rano Karno dan Yana Julio juga pernah menegaskan dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa pada kenyataannya sebebas apa pun karya seni, tetap harus dibatasi oleh bingkai.

Lalu, seluas apa bingkai yang bernama "Islam" dalam komedi?

Jadi ingat pustakawan buta dalam novel Il Nome della Rosa yang menyembunyikan naskah pandangan Aristoteles mengenai komedi dan legenda Afrika bahwa Tuhan menciptakan dunia melalui Tawa...

Mungkin tawa masalah yang seurieus dalam sebuah keyakinan.

Tayangan LMotP belum dapat dikatakan seratus persen "islami" tapi yang jelas ini cukup menggambarkan dari berbagai sudut, seperti apa suasana kehidupan Islami dan usaha kaum muslim menyelaraskan diri dengan lingkungan asing, terutama di dunia barat pasca 9/11...

Tentu kita juga sering mengalami hal-hal menggelikan yang serupa. Sehingga, cukup menarik juga membaca komentar panas dingin dari berbagai pihak, baik dalam menanggapi film ini sendiri maupun membahas masalah-masalah yang diangkat oleh tayangan tersebut.

Kalau film Jepang tentang Islam, ada nggak, ya? (lupa)

Rabu, 14 Maret 2007

Pac-Man, π, Pi, dan The Missing Piece

Karena kebetulan sedang dikelilingi oleh dua makhluk ekonomi yang sibuk berkutat dengan ukuran juring diagram lingkaran semacam ini, jadi geli sendiri mengenang lelucon yang muncul akhir tahun lalu:

pacmanpie

Pac-Man adalah permainan mengumpulkan sumber daya sebanyak mungkin sambil menghindar dari musuh. Mengingatkan kembali DNA kita akan senangnya menjadi makhluk kecil namun cerdas, dikelilingi ancaman mematikan dari hewan pemangsa yang tak terlampau pandai, yang tak memegang rahasia senjata tongkat atau batu. Walaupun belum tentu lapar, tetap harus makan sampai habis demi mempertahankan permainan agar tetap berlanjut.
Ini adalah permainan konsumerisme pamungkas, diciptakan di Jepang dan meledak di Amerika, dua pusat kapitalisme.
Bandingkan dengan Tetris dari Uni Soviet, yang menekankan pemilihan dan pengaturan sumber daya secara menyebar, ketika memperoleh banyak tanpa membagikannya secara tepat dan merata akan mengarah kepada kekalahan.


Apa ada hubungan keluarga antara Pac-Man dan Mr. Smiley (dan Anpanman) ya?


Bentuknya mengingatkan pula pada buku cergam apik kegemaranku, karya Shel Silverstein: "The Missing Piece" dan "... Meets the Big O".
Ada sebuah bundaran yang kehilangan satu juring potongannya, dia pun bernyanyi-nyanyi sedih sambil mencari belahan jiwanya......
Di buku selanjutnya, sang potongan berusaha mencocokkan diri dengan benda-benda lain, sampai suatu saat ia bertemu dengan sebuah bundaran utuh yang tak butuh dilengkapi......


Kelompok yang menyanyikan lagu "El Corazón" yang kubahas kemarin itu ternyata juga pernah menurunkan satu lagu tentang π (youtube) ala square-one (atau sesame street?)

When ink and pen in hands of men, inscribe your form, bipedal Pi
They draw an altar on which God has slaughtered all stability
No eyes could ever soak in all the places you anoint
And yet to see you all at once we only need the point
Flirting with infinity, your geometric progeny
That fit inside you oh so tight with triangles that feel so right
(3.14159265358979323846264338327950288419716939937510582097494459)
Your ever-constant homily says flaw is discipline
The patron saint of imperfection frees us from our sin
And if our transcendental lift shall find a final floor
Then Man will know the death of God where wonder was before


safariPi Patel adalah tokoh dalam novel petualangan yang memenangkan Booker Prize 2002, mengiaskan makna keyakinan beragama.
Alkisah suatu saat si Pi terpaksa hanyut di laut, bertahan hidup bersama hewan-hewan langka, antara lain orangutan dan harimau...... (Ngomong-ngomong jadi ingin mengunjungi taman safari untuk menjenguk bayi-bayi yang akrab itu sebelum mereka terpisahkan)


Lah kalau Pi yang ini???

...

Kon-kon!!!

...

Senin, 05 Maret 2007

Gerhana, Parijs van Java

Baru saja pulang bolos dan berniat santai-santai di Jumat pagi, ternyata ada peristiwa: Kakak sepupu tiba-tiba menang tiket terusan Java Jazz berkat iseng menjawab kuis radio. Dia masih tugas jaga klinik, bingung dibuang sayang, membujukku untuk memanfaatkannya pergi menonton ke Jakarta. Yaah, malas banget deh! Mana tiketnya hanya untuk seorang setiap hari!
Sebagai bukan penyimak radio (sebelum bukan pemirsa MTv) ini memang kesempatan langka yang tak pernah aku angankan. Tapi karena kepepet tidak sempat menanyai siapa kenalan yang pergi, dan baru saja pewe dalam suasana rumah, iming-iming bahwa harga aslinya mahal pun tak membersitkan semangat ke sana tuh...
javajazz

Semangatku sendiri menyala-nyala ketika berusaha menunggui gerhana bulan di balik gumpalan awan, dan walaupun takbir cukup heboh terdengar di masjid, ternyata yang bertahan bangun hanya aku dan dua ekor kucing. Kakak sepupu bolak-balik mencium bantal, sementara adik malah mengigau dan baru bangun setelah bayangan mulai tersingkap.

Menebus dua hal yang belum terpuaskan itu, adikku mengajak, "Yuk nonton Paris Je t'Aime, murah meriah cuma 15 ribu, popcorn gratis, lewat pelentinan juga pasti sudah sepi!"
Reaksi pertama kami, "Haa? Tumben ada film luar negeri terinspirasi film Indonesia (Eiffel I'm in Love, hiks komentar gak mutu)..."

Kami pun berbondong-bondong ke bioskop, tapi sebelumnya mencicipi sushi groove. Waduh, sungguh kalau cari restoran sushi lebih baik yang konvensional saja, jangan yang sok modern. Dihias dengan wajah indah, rasanya malah tidak karuan. Takoyaki bungkus kentang masih mendingan, tapi masa maguro pakai remah gorengan dan saus sambal. Akhirnya kami kenyang cuma dengan jahe merah dan wasabi. Untungnya mereka tidak sampai menghidangkan yang separah ini...
nemosushi

Film Paris Je t'Aime, BAGUS BANGET!!! Lengkap, dengan 18 potongan itu, seakan-akan segala ada. Sangat direkomendasikan. Hmm, inginnya sih Bandung dibuat seperti itu. Kyoto mungkin sudah punya ya. Selamat menonton deh.