Selasa, 30 Agustus 2005

Sejarah Dongeng, Dongeng Sejarah

Ingat masalah protes terhadap buku sejarah Jepang?
lihat situs Japan Society of History Textbook Reform
Kutip:
Banyak yang berpikir bahwa mempelajari sejarah adalah untuk mengetahui rentetan peristiwa masa lampau.
Sebenarnya tidak demikian!!!
Mempelajari sejarah, adalah mempelajari cara berpikir orang-orang masa lampau mengenai peristiwa masa lampau.



Lalu, memangnya siapa sih yang suka belajar sejarah? Hampir selalu terdengar keluhan kebencian... Saya suka (mungkin di kelas hanya saya yang mendengarkan dongengan bapak dan ibu guru dengan baik), tapi rasa suka itu tidak tercetus melalui kurikulum sekolah.

Mungkin seperti yang Oda Eiichiro bilang:
Bajak laut yang saya kagumi di masa kecil, ternyata tidak tercantum dalam catatan sejarah masa lampau. Mungkin petualangan mereka sedemikian menyenangkan, sampai-sampai lupa meninggalkan nama ke generasi selanjutnya.
Inilah sebabnya mengapa jenis manusia bernama bajak laut itu menyusahkan.


Bukti sejarah yang terawat rapi tentunya milik penguasa karena mereka punya istana. Bukti tersebut juga bisa saja diada-adakan atau lenyap seiring berlalunya waktu.
Dulu tahun 99 atau 2000 (?lupa) ada arkeolog Jepang yang sengaja memasukkan benda tiruan ke lokasi penggalian, supaya kelihatan menghasilkan sesuatu.
Tapi lepas dari ada tidaknya bukti sejarah, penggalian bukti-bukti itu juga tergantung pada keberpihakan sang ilmuwan sejarah.
Seperti apa yang dialami Laksamana Chengho kemarin ini. Michael Yamashita, fotografer yang meliputnya di NGS keliling Asia Afrika, punya misi mengangkat peradaban Asia, karena ia sebagai orang yang lahir di Amerika butuh kebanggaan identitas.
Masih untung, dia berusaha jujur, selama belum ada bukti yang bisa diandalkan mengenai penjelajahan Chengho ke Amerika dan Australia, dia melarang rekan penulisnya yang bersemangat mencantumkan teori tersebut.

Bagaimanapun juga cara berpikir orang masa lampau paling mudah dilihat dari dongeng yang mereka nikmati, sejak mewariskan pandangannya tentang hidup melalui mitos dan legenda dari mulut-ke-mulut, sampai menuliskannya seperti yang dilakukan Homerus dan Valmiki...
Maunya sih membahas dongeng "Indonesia" juga, tapi baiklah kita mulai dengan dongeng-dongeng Eropa yang sudah mendunia. Setelah fiksinisasi peristiwa di balik kisah Peter Pan, kini Miramax menggebrak lagi dengan film "dongeng" fiksinisasi mengenai Brothers Grimm.

brogrimmDua saudara ini sebenarnya hanyalah profesor akademisi sastra yang berjasa mendokumentasikan sisa tradisi mulut-ke-mulut cerita rakyat di sepanjang maerchenstrasse: Cinderella, Putih Salju dan kawan-kawan: ternyata mereka pun sudah cukup melakukan editing dari cerita aslinya yang parah, penuh kekerasan dan sering rasialis abiss (banyak antisemit), dan kemudian yang sampai ke anak-anak masa kini pun, rata-rata yang sudah diperhalus lagi oleh saduran-saduran ala Disney.

National Geographic's Brothers Grimm
Museum Grimms di Kassel

Surlalune memuat beberapa versi perancis (yang lebih sopan?) dari dongeng-dongeng peri tersebut, diberi anotasi, dikaitkan dengan suasana zaman itu, sindiran yang terselubung di dalamnya, dan voila, kita bisa belajar sejarah dari dongeng peri-peri.

Hans Christian Andersen (pengarang Ugly Duckling, Emperor's New Clothes dan Little Mermaid) juga dirayakan tahun 2005 ini.

Film-film lain yang terkait:
- The Big Fish
- A Series of Unfortunate Events

Fantasi sihir yang dipakai sebagai latar belakang kebanyakan dongeng, sering mengundang kontroversi, ditakutkan akan merusak akidah.
Apakah ini semacam "pelarian" si sastrawan karena keengganan memikirkan hal-hal yang nyata? Boleh saja dibilang pelarian. Kemajuan teknologi adalah wujud kemalasan manusia, pelarian dari keharusan untuk mengerahkan tenaga, tulang dan otot dalam batasan biologis. Menulis adalah pelarian dari ketidakmampuan melakukan perubahan dengan tindakan (dalam kasus ini, demikian juga dengan berdoa) Dan bukankah pelarian adalah DASAR PERTAHANAN dalam bela diri? Maka, ayo kita lari.
Tapi apakah ini wujud keengganan memikirkan hal-hal yang nyata? Saya rasa tidak.

Hampir semua film Ghibli rata-rata berkisar mengenai kehidupan paralel dengan makhluk selain manusia, perlindungan terhadap lingkungan. Unsur magis, makhluk halus, ditampilkan seperti apa adanya, justru bisa mencerahkan mengenai bagaimana penganut animisme memandang kehidupan, sehingga kepercayaan tersebut bisa membawa mereka lebih menghargai lingkungan daripada pandangan picik salah paham mengenai "dunia sebagai tempat hukuman pembuangan" yang dianut agama samawi yang menimbulkan lemahnya halangan terhadap perusakan alam.
HP, isinya berkisar seputar masalah rasialis, campur tangan pemerintah terhadap kurikulum sekolah, pengaruh wartawan terhadap pembentukan opini masyarakat, ketergila-gilaan terhadap permainan olahraga tertentu, psikologi abg, manajemen rasa takut, politik kekuasaan. Semua bisa dicocokkan dengan dunia nyata, hanya saja
dikemas supaya lebih menarik dan penuh humor.

Penggambaran sapu terbang sebenarnya adalah stereotipikal terhadap sihir yang dibentuk oleh kekuasaan yang menumpang gereja. Penyebutan "sihir" pada masa-masa pemberantasan dan pembakaran (!!!) nenek2 keriput itu, sebenarnya hanyalah suatu kampanye tindakan pelanggaran HAM yang bersifat SARA.
Kita perlu membuka sejarah kelam yang berlaku jauh sejak zaman Romawi sebelum nabi Isa. Mereka mencap sihir kepada orang-orang bijaksana, ahli ramu-ramuan alias farmasi, kimia dan fisika purba yang berpengaruh terhadap opini masyarakat kampung, agar punya alasan melakukan penangkapan dan pembantaian, karena ditakutkan akan mendorong masyarakat pada tindak subversif. Kita tahu bahwa Galileo Galilei yang ilmuwan juga dihukum oleh gereja dengan tuduhan sihir. Sekarang, teknik pemberantasan semacam itu juga masih berlaku terhadap ulama islam di seluruh penjuru dunia.
Kenyataannya fenomena sihir dan interaksi alam gaib ke dunia manusia memang jelas ada, tercantum dalam sejarah alquran kan? Yusuf, Firaun dst bukan rekaan
seperti yang dianggap oleh pandangan skeptis.

Peradaban "Islam" tetap tidak lepas dari fantasi sihir. Shahrazad mendakwahi rajanya yang lalim dengan alf laila wa laila alias seribu satu malam. Sunan Kalijaga mendalangi wayang kulit demi mengajari kalimat syahadat.

Seandainya fantasi magis dihindari, seharusnya dongeng fabel juga dipertanyakan. Bukankah pada fitrahnya hewan punya sistem komunikasi yang berbeda dari gramatika yang digunakan manusia. Kita tidak akan mengerti tata bahasa mereka, demikian pula jalan pikiran mereka. Memang ada sedikit komunikasi antara manusia dan hewan, namun itu non verbal dan sangat minim. Hanya orang-orang tertentu yang benar-benar bisa bicara panjang lebar dengan mereka layaknya Sulaiman. Sementara antar spesies
berbeda, juga mereka jarang butuh mengobrol. Dan masing-masing juga hidup sesuai perintah sang pencipta, jarang menjadi pembangkang seperti manusia. Seekor predator tidak memakan hewan lain karena jahat, melainkan itu merupakan hukum rimba, tidak bisa disamakan dengan manusia yang satu spesies, seharusnya sederajat dan tidak boleh menguasai manusia lain. Hewan juga punya pengetahuan lebih (naluri) untuk bertahan hidup daripada manusia tanpa perlu diajari lewat komunikasi.

Pada dasarnya fiksi remaja islami pun juga semata rekaan yang menempatkan pengarangnya sok tahu menjadi tuhan dari tokoh ciptaan sendiri, padahal di dunia nyata, belum tentu suratan takdir bisa berjalan sesuai dengan alur klimaks/antiklimaks yang disampaikan.

Tapi ini fantasi. "Imagination has no rules". Kadarnya seimbang dengan science fiction: di mana hukum alam berlaku sesuai yang dimaui penulis, apapun boleh terjadi: hewan-hewan boleh bicara, sihir boleh bergaya.
Pembentukan dunia rekaan ini merupakan pilihan yang mudah untuk memperlancar argumen yang disampaikan.

Memang tidak mudah mengarang dongeng sihir atau fabel tanpa terjerumus pada cerita tak bertanggung jawab, jadi kalau belum mampu, tak usah coba-coba.
Melakukan studi lapangan dan pustaka yang terperinci akan lebih baik, dan tulislah sastra jurnalistik.

Jumat, 19 Agustus 2005

Headscarf Day

Dapat kabar dari belahan dunia sana.
Komunitas perempuan Scottish menyelenggarakan Headscarf Day 19 Agustus 2005, sebagai pemanasan gebrakan demonstrasi untuk membela hak pelajar muslimah di negara-negara yang menerapkan larangan berjilbab di sekolah (antara lain perancis, jerman, tunisia, turki) pada hari-hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 3 September, International Hijab Solidarity Day.


Izin berjilbab di lingkungan pelajar Indonesia yang mayoritas Muslim pun bisa dikatakan termasuk baru (tahun 90an?) setelah cerita punya cerita mengalami perjuangan berkepanjangan. Banyak yang ikut-ikutan menganutnya sebagai pelampiasan jiwa pemberontakan masa remaja melawan orang tua, sehingga berubah pikiran setelah lebih dewasa, walaupun juga banyak yang bertahan dalam pendirian.

Secara keseluruhan, hambatan berjilbab masih banyak ditemukan di Indonesia, dan di lain pihak jilbab juga disalahgunakan oleh beberapa oknum pelajar putri yang ingin menghindari olahraga ataupun menyembunyikan kehamilan. Namun dalam dekade terakhir, jilbab mulai berevolusi menjadi trend mode sekaligus norma sosial. Didukung oleh perkembangan ekonomis: berlipatgandanya produksi scarf, selendang, baju kurung, rok panjang, dan pernak-perniknya, yang jelas memajukan industri tekstil, konveksi, obras, bordir (walaupun muslim yang baik seharusnya tidak bersikap konsumtif)...
Telah berlalu masa ketika ibunda menarik selembar demi selembar benang di pinggir sepetak kain meteran.

Kebanyakan sekolah bahkan menerapkan kewajiban mengenakan seragam berjilbab di hari Jumat: sebuah upaya setengah hati, rasanya. Jangan-jangan hanya kesempatan untuk menjualkan lebih banyak jenis seragam.
Kapan ya, pendidikan untuk semua bisa ditegakkan tanpa perlu mempermasalahkan seragam? Masa seperti yang saya lihat, dua-tiga bulan setelah kejadian tsunami di Aceh, ketika buku-buku bantuan telah berdatangan, kegiatan belajar mengajar masih terhambat dengan keluhan belum ada bantuan seragam, sehingga "sulit membedakan yang mana murid sekolah ini dan yang mana yang bukan"... Tolooong. Haree geenee pakai formalitas?

Ada beberapa rekan yang mengalami, ditunjuk oleh KBRI atau KJRI untuk melaksanakan upacara pengibaran bendera, tetapi permohonan menyediakan seragam paskibra yang layak memenuhi syarat jilbab ditolak, sehingga harus diakali atau tidak ikut sekalian.
Bukan hanya karena berada di luar negeri sehingga tak punya akses ke produksi pakaian, karena memang peraturan dalam negeri masih ketat sehingga paskibraka istana negara yang berjilbab (seperti utusan NAD tahun ini) pun masih harus mengenakan seragam yang tampak mengada-ada: kerudung yang menyelesak ke balik kerah putih dan syal merahnya, dan rok lipit ke bawah lutut yang dipadu dengan kaos kaki tinggi.
(Namun bagaimanapun juga, mungkin muslim yang baik akan memilih menghabiskan tenaga dan masa mudanya di jalan lain yang lebih meriah daripada setiap hari belajar haluan kiri kanan dan menggosok ikat pinggang berlambang garudanya sampai mengkilap, demi sekedar lambang pusaka usang yang nyaris diberhalakan.)

Menimbulkan beberapa tanda tanya,

### sejauh mana hak asasi tersebut harus diperjuangkan?

Suatu saat pernah ada protes dari seorang wanita yang tidak mau melepas cadarnya untuk foto identitas diri. Keterlaluan?
Namun memang mungkin sudah saatnya teknologi dikembangkan dengan menggunakan identitas sidik jari dan selaput mata daripada pas foto yang sebenarnya juga terlalu mudah direkayasa.
Namun lagi, toh pengenalan raut wajah masih tetap lebih unggul, ramah, dan semakin diminati, terbukti dengan profil friendster, blogger, gravatar yang menganjurkan pemasangan foto diri. Memang mata manusia lebih canggih dari alat pengidentifikasi manapun juga.

### apakah demonstrasi seperti di atas akan suatu saat memutarbalikkan keadaan yang kembali mengarah kepada pemingitan dan penyempitan ruang gerak perempuan?

Menyambut ke"merdeka"an di segala bidang, termasuk berpakaian, memang ngalilieur juga melihat kesenjangan antara pelarangan dan pengharusan yang diterapkan di dunia (dan termasuk Indonesia). Namun, tentunya pemaksaan berpakaian lengkap masih akan jauh lebih nyaman daripada pemaksaan untuk bertelanjang bulat, atau setidaknya, berbikini di depan umum... Tidakkah demikian?

Banyak juga yang tidak sadar, bahwa pembungkusan perempuan adalah tuntutan di hampir setiap peradaban. Seharusnya tidak aneh bila Jepang memberi toleransi tinggi terhadap jilbab, sebab pertapa buddha juga dianjurkan berjilbab bila tidak mencukur rambutnya: sebuah kenyataan yang terlupakan oleh generasi masa kini.
Masih terkenang tatapan heran wisatawan yang lalu lalang, setiap kali saya menapaki tangga Koudaiji, disangka hantu dari istrinya Toyotomi Hideyoshi, 「北政所・ねね」...


Sementara dalam penerapan berbagai agama, penggunaan jilbab adalah sebagai busana menyepi bertapa di biara, bagi saya pribadi, jilbab dalam pemahaman Islam sepantasnya justru dinilai sebagai faktor pembebas: dengan mengenakannya kita tak perlu sungkan berinteraksi dengan lawan jenis, bisa keluar rumah dengan leluasa, dan seterusnya...
Dan...
siapa bilang jilbabers gak boleh olahraga?

Rancangan penutup kepala yang lumayan artistik untuk skate, tenis, dan aerobik ada di Capsters.

Pun sudah banyak beredar baju renang ala penyelam dari bahan lycra.
Kalau masih kurang longgar, bisa coba contoh di samping ini...

Yahahahaha.

Sabtu, 06 Agustus 2005

Seribu Bangau Hiroshima 「広島の千羽鶴」


Manga Jepang yang pertama kali hadir di depan hidungku masa balita, judulnya Si Gen Kaki Ayam, terjemahan dari Hadashi no Gen yang dibelikan ayah di suatu pameran kebudayaan Jepang. Tetapi setelah membuka-buka halamannya, ayah meletakkannya di atas lemari dan mengatakan bahwa buku itu belum layak baca.
Saat itu aku kira alasannya adalah bahwa ini buku horor, karena tokoh utamanya punya kaki seperti ayam, sebuah perlambang setan... Sama sekali tak ada terlintas di kepala bayangan yang mengaitkan bahwa kaki ayam = nyeker = telanjang kaki... <;^P Ketika akhirnya aku berhasil memanjat rak, barulah tahu isi ceritanya, memang seram, tapi bukan karena setan, melainkan manusia itu sendiri, dalam suasana peperangan... Dan tersebutlah aku berhasil mencapai tempat latar belakang manga itu...


Rangkaian kenangan menghadiri upacara Peringatan Jatuhnya Bom Atom

kubahGenbaku Doomu, bekas kubah Gedung Promosi Industri Hiroshima, gedung terdekat pusat ledakan yang strukturnya masih bertahan ketika seluruh kota runtuh menjadi puing-puing terkena bom. Kini dijadikan Tugu Peringatan di Peace Memorial Park.

peacemuseumSuasana di depan musium dan aula, bubaran setelah walikota Hiroshima membacakan Deklarasi Perdamaian dalam rangkaian upacara.
Niatnya sih cengar-cengir melancong, tapi asli, memasuki musiumnya, sungguh bulu kuduk ini merinding...

sadakosenbadzuru
mini-tsuru
Beribu-ribu (juta?) bangau kertas warna-warni berhias yang dikirim anak-anak seluruh penjuru dunia, mengenang seorang korban anak, Sadako, yang menghabiskan sisa usianya dalam Leukemia dengan melipat kertas sebagai ungkapan pemanjatan doa. Sedemikian telitinya origami sehingga bisa menghasilkan bangau sekecil jentikan jari.

Lebih dari setengah abad peristiwa itu berlalu, kota ini telah kembali berdenyut sebagai Kota yang Tak Pernah Tidur...
hiroshimanightCeritanya, melihat bahwa dari sebatang pohon yang sudah hangus hitam terbakar bom, ternyata tetap muncul tunas-tunas hijau muda, memicu semangat rakyat Hiroshima untuk bangkit kembali dengan percepatan yang luar biasa.
Betapa dahsyat energi kehidupan...

Jumat, 05 Agustus 2005

Masjid Perca-Perca

Layar Bambu #2

"Mampirlah kemari mBak!" tegur seorang penjaja lampion merah putih berhias kaligrafi kalimat syahadat, di gerai berjudul PITI. (PITI? Kalau bahasa minang, artinya kan uang...)
Ia menyodorkan beberapa buku terbitan malaysia yang penuh foto namun sudah lusuh,
mengenai Islam di Cina.

"Duduklah, silakan baca. PITI itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Demi menghindari kesan sara kepanjangannya diganti jadi lebih umum: Pembinaan Iman Tauhid Indonesia. Pernah dengar?"

"Muslim Tionghoa sih kenal. Tapi organisasinya sih gak terlalu. Di Bandung pernah lihat sih masjid Laotze di seberang Regent, persimpangan patung sepak bola. Tapi kecil, seperti mushalla saja. Entahlah kalau ada di tempat lain."

Cerita punya cerita, dalam kenyataan sepanjang sejarah, tidak ada sebuahpun kelenteng yang memuat makam tanah, sehingga keberadaan makam Kyai Jurumudi Dampo Awang yang muslim itu menandakan bahwa aslinya Kelenteng Gedung Batu di Semarang adalah sebuah masjid.
Tampaknya tak ada yang mau mempertimbangkan kemungkinan adanya sinkretisme, walau menurut sejarah, kyai yang menyebarkan Islam di Semarang itu sendirilah yang mendirikan patung Cheng Ho di sana, artinya ia belum melepaskan adat istiadat penghormatan kepada leluhur yang dianut bangsanya.

Sebagai pengganti kelenteng yang telah tak terganggu gugat sebagai tempat sudi peribadatan umat tridharma, mereka menyiapkan masjid Sampookong di kompleks Bukit Semarang Baru. Sebuah masjid Sampookong juga telah berdiri beberapa tahun lalu di Surabaya.

"Tanah dan IMBnya telah siap, tinggal memulai konstruksi, mBak."

(Aku bukan mbak-mbak...) "Oooh, jadi, inikah desainnya?" Aku meneliti rancangan denah dan tampak bangunan yang dipamerkan. "Ini nama arsiteknya? Yulius Eko Sutrisno."

"Iya. Memang non muslim sih mBak, tapi, gak masalah kan? "

(Aku bukan mbak-mbaaak!) "Tentu saja tidak masalah bagi saya, siapa pun arsiteknya. (Emangnya gak ada lain ya?) Saya kenal arsitek masjid AlAzhar yang tidak pernah shalat. Hanya saja, penggabungan unsur semacam ini apakah perlu? Kayaknya malah jadi gak nyambung."

"Oh perlu toh mBak. Kan menampilkan identitas. Tiga budaya yang berkaitan dengan masjid ini, Pagarnya akan berbentuk gapura, karena kita berada di Jawa. Atapnya pagoda, karena armada Cheng Ho dari Cina. Lalu ruang dalamnya ala masjid Nabawi, menegaskan keislaman."

"Hmmm, dalam pandangan saya, setiap budaya punya haute couture, masterpiece, alias adikarya masing-masing. Sebuah gapura sudah punya padanan yang pas untuk bentuk bangunan di dalamnya, begitu pula pagoda, apalagi masjid nabawi. Tiga gaya yang sama sekali berbeda. Dalam Islam sendiri, selama sebuah bangunan bisa memenuhi fungsinya sebagai masjid, tak akan ada tuntutan untuk merancangnya harus dengan gaya Arab. Islam kan universal. Kalau mau ada identitas, mengapa tidak gaya Tionghoa saja habis-habisan sekalian."

"Tapi ini kan masjid untuk bersama mBak, jadi perlu menampung segenap aspirasi."

"Saya bukannya menentang akulturasi, menggabungkan segenap peradaban di dunia tuh gak apa-apa selama gak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tapi kan ada yang namanya estetika. Kesatuan rancangan. Di bawah profil gapura, di atas profil pagoda, eeeh pintunya kubah-kubah begitu. Kalau proporsinya cocok sih mungkin enak dipandang, tapi di sini terlihat maksa seperti perca-perca dari kain sisa. Belum lagi dilihat keadaan alam kan? Arab, Cina, India dan Indonesia punya iklim dan cuaca yang berbeda. Kelihatannya di sini yang diperhatikan hanya tampilan luar saja, apakah fisika bangunannya sudah disesuaikan? Lalu pagodanya. Pagoda kan punya konstruksi anti gempa. Apakah di sini akan dibangun sedemikian rupa persis aslinya, atau hanya meniru bentuk luar sebagai dekorasi saja? Tapi yah kalau menerima rancangan ini sudah merupakan keputusan bersama, apa boleh buat semoga sukses saja."

"Hmmm... Wah saya sendiri tidak begitu paham mBak. MBak kuliah arsitektur ya? Kos di sini?"

(agak tersanjung) "Saya terlihat masih kuliah kah?"

"Oh sudah lulus? Jadi sudah arsitek?"

(tambah tersanjung tapi malah sok pintar) "Saya terlihat berlagak arsitek kah? Arsitektur itu ilmu dasar yang wajib dikuasai semua orang, kebutuhan pokok manusia, terutama untuk bekal perempuan mengatur rumah tangga, gitu loh!"

"Oh bukan arsitek? Terus apa dong kerjanya mBak? Wartawan? Ke sini meliput yah."

(Masih ingin teriak 'saya bukan mbak-mbaaak!' tapi terlanjur kegeeran) "Bukan juga. Tapi kalau mau diliput, oke nih saya liput, buat blog, tohohohoho."

Kamis, 04 Agustus 2005

Layar Bambu Cheng Ho

Juli 1405, bertolaklah duta persahabatan dan perdamaian dari selatan cina mengarungi samudera hindia. Kini, 600 tahun kemudian, dirayakan di berbagai penjuru dunia, termasuk Semarang dan Singapura.

Yang paling menakjubkan, adalah jumlah armadanya: lebih dari 200 kapal dengan sembilan layar bambu, dengan kapal harta terbesar mencapai panjang 120 meter!
Sang pemimpin, Laksamana Cheng Ho, alias Kong Co Sam Poo Tay Jin, manusia yang tangguh dan bijaksana, muslim yang saleh.
Beliau menerapkan manajemen Rasulullah saw dan prinsip Tao, sehingga mampu memimpin armada sedemikian besar dengan keteraturan rapi jali.

Kim Sin Kong Co Sam Poo Tay Jin


Armada beliau singgah di Cirebon dan Tuban, juga diyakini sempat ke Semarang, jauh sebelum daerah itu berkembang menjadi kota pelabuhan.
Kelenteng Sampookong, situs Gua Batu yang menjadi tempat beribadah beliau, malah telah dikembangkan sebagai tempat pemujaan beliau, yang dianggap juga oleh umat tridharma sebagai dewa pelindung yang telah menyelamatkan mereka dari bajak laut dan merintis berkembangnya kota ini. Semarang sendiri diyakini sebagai pelesetan dari Sampoolong, artinya Makam Sampoo.

Karena sempat dikuasai oleh pemungut pajak yahudi di masa penjajahan Belanda, demi memperlancar peribadatan, patung kongco yang diletakkan di Gedung Batu sempat dibuatkan replikanya ke sebuah kelenteng Dewi Kwan Im di daerah pecinan, 「大覚守」 Tay Kak Sie, sehingga terjadilah kirab tahunan Kimsin Kongco Sampoo Taijin untuk mempertemukan sang replika ke patung aslinya. Walaupun Gedung Batu telah dibebaskan sejak 1879, namun ritual ini masih dilaksanakan (tahun ini jatuh pada tanggal 4 Agustus) dan kini digalakkan oleh departemen pariwisata untuk mengundang turis Cina yang ke Singapura untuk mampir juga ke Indonesia (sejak 1 Agustus berlaku visa kedatangan di bandara Ahmad Yani).

Memperingati 600 tahun pelayaran armada beliau, kini telah ditambahkan hiasan relief ala borobudur yang menampilkan rangkaian muhibah beliau ke negara-negara maritim sepanjang pantai Indonesia.

Bhekun, pasukan pengurus kuda, orang-orang yang melepaskan nazarnya dengan memeriahkan arak-arakan sambil mendandani wajah ala ria jenaka kyougeki (opera beijing). Karena hampir tak ada lagi yang betul-betul memahami pakem riasnya, asal cemang-cemong saja, bahkan ada yang memasang tampang batman dan spiderman!

Sosok Sebuah Patung


Mulanya yang terbayang adalah sosok Jet Li dalam YingXiong, tapi kabarnya Cheng Ho ini bermata besar dan berdaun telinga panjang.
Beliau keturunan Bukhara (Uzbekistan, berarti kampung halaman Imam Bukhari dan Ibnu Sina), dengan ayah dan kakek yang haji, bermarga Ma (「馬」 kuda, konversi kanji Cina untuk Muhammad). Lahir mengalami masa kanak-kanak di Yunnan, ditangkap dan oleh pasukan dinasti Ming, dijadikan sida-sida mendampingi pangeran Yan selama 20 tahun menuju tahta kekaisaran, kemudian menjadi laksamana kepercayaan.

Mempertimbangkan bahwa pengebirian di masa remaja seharusnya juga mempengaruhi hormon pertumbuhan badan, mitos bahwa tinggi beliau ada hampir 2 meter dan lingkar pinggang 1.5 meter (haaa? aku aja 75 senti merasa kegendutan) yang didukung oleh penampilan patung ganteng yang didatangkan khusus untuk peringatan ini, terlihat menakjubkan...

Yang lebih menakjubkan lagi, adalah bagaimana beliau bisa bertahan dalam kesetiaan terhadap sang kaisar, melupakan dendamnya, sambil tetap menjalankan tugas sebagai muslim yang taat...