Kamis, 25 November 2004

Hemat Energi, Boros Biaya

"Sometimes, you have to leave things as it is. Yang ditampilkan barusan seperti biodiesel dan semacam, kedengaran ideal, tapi apakah praktikal? Seandainya itu akan menguntungkan, berbau uang, pasti dukungan akan datang dari berbagai pihak. Tapi kita lihat saja minyak goreng, berapa mahalnya dibandingkan bensin? Posisi minyak bumi sebagai bahan bakar tetap takkan tergantikan. Kami pernah menurunkan dana 20 miliar untuk penelitian yang berujung sia-sia. Yang kurang di Indonesia adalah kemampuan berpikirnya. Kami di Korea dulu juga begitu, tapi kami mampu bangkit dengan apa yang kami bisa."
....... Wapres APEC Energy Research Center Tokyo, orang Korea (yang jelas bukan Bae Yong Jun)

Masalahnya adalah pengemasan. Minyak goreng tentu saja mahal karena memakai kemasan steril, dan tidak mendapat subsidi sebesar minyak bumi. Sementara potensi limbah kelapa sawit terlihat menjanjikan. Tapi memang apa gunanya mengerahkan daya upaya habis-habisan hanya untuk memanjakan para pengguna minyak bumi lainnya.

Indonesia telah meratifikasi protokol Kyoto dan menerapkan CDM, tapi apa bukan hanya sekedar langkah politis?
Dari sudut pandang orang pertanian, timbul pertanyaan langkah mana yang lebih efektif: menurunkan harga energi, agar orang tak mampu dapat menggapainya, atau menaikkan derajat hidup mereka terlebih dahulu, sehingga semahal apa pun energi tetap dapat digapai?


...


dst

Senin, 22 November 2004

MinOn 2004

民音 留学生音楽祭
Adalah konser tahunan yang melibatkan mahasiswa asing sekota, untuk tampil beramai-ramai paduan suara atau mempertunjukkan budaya negeri masing-masing.


Setiap orang akan mendapat 5000 yen untuk pengganti ongkos jalan dan konsumsi latihan, jumlah yang wajar mengingat pihak-pihak kedutaan dan konsulat jenderal juga dimintai dana sponsor atas nama promosi wisata.


Kegiatan ini diselenggarakan oleh para sukarelawan yang tergabung dalam yayasan Minzoku Ongaku.
Karcis dibagikan cuma-cuma di pos-pos kegiatan pertukaran budaya, antara lain kantor administrasi mahasiswa asing.

Sabtu, 20 November 2004

November Mop

Sebenarnya film ini kutonton bulan April, karena tertipu judulnya.

Menggambarkan satu keluarga yang berangkat bertamu ke apartemen putri tertua yang pemberontak, demi merayakan Thanksgiving bersama-sama, sementara sang putri panik mempersiapkan makan malam yang istimewa.
Berbagai masalah psikologis terungkap satu persatu dengan menarik, sampai akhirnya kita bisa memahami karakter masing-masing tokoh sambil tertawa dan menangis.
Bagi kita yang gemar film Friends, tentunya ingat betapa perayaan ini sangat penting bagi mereka, terlepas dari kasus Chandler yang trauma keluarga, dan Phoebe yang vegetarian sibuk membela hak asasi kalkun.
Di sini, makna dari Thanksgiving juga diangkat ketika si April berusaha dengan susah payah menjelaskan pada tetangganya yang tak bisa berbahasa Inggris, tentang sejarah kaum pendatang yang berhasil merebut tanah pribumi dengan pertumpahan darah, menggarapnya, dan sebagai ucapan terima kasih menyelenggarakan perayaan panen sambil mengundang kaum pribumi tersebut...

Ternyata ada beberapa gerakan yang menuntut pemaknaan kembali perayaan ini, sebagai hari belasungkawa.

Minggu, 14 November 2004

Cinta Putih

It is hard for me to say: I AM SORRY
A lot easier to say: HAYANG SEURI Posted by Hello


© Id mubarak 1420H/1999M

Kamis, 11 November 2004

Pahlawan pejuang Bambu

Aku pernah tatap muka dengan Yasser Arafat. Iya, yang asli. Tepatnya, kami pernah menghibur beliau dan para petinggi dunia. Satu kelompok kecil angklung di antara ribuan pelajar, di alun-alun Bandung, pada peringatan 40 tahun Konferensi Asia Afrika, bagian dari acara KTT Nonblok ke-10.

Sambil merenungkan. Betapa berat beban yang harus dipikul seorang pemegang tampuk pimpinan orang-orang tertindas. Kapan harus mengerahkan tenaga dan senjata, kapan pula mengertak dengan kata-kata? Wajah dan tubuh pun serta-merta menjadi milik negara. Kehidupan pribadi dan pernikahan, menjadi sorotan dunia. Nafkah keluarga, atau dana masyarakat kah, yang ada di simpanan banknya?

Namun beliau, seperti biasa, tersenyum ceria melambaikan tangan dengan penampilan khasnya. Demikian juga semua orang di atas podium. Sementara aku, kami masing-masing, hanya bisa memainkan tiga empat nada. Untuk sekitar sepuluh menit kesenangan sesaat mereka, dan sekitar sepersepuluh detik diliput CNN dan berbagai saluran televisi. Dan jalan mulus menuju istana. Soeharto mengundang kami kembali menghiburnya di peringatan tahun emas kemerdekaan (Ahhh, kenangan baju merah putih dan selembar lima-puluh-ribu-rupiah-ku yang pertama itu...)


Perjuangan di tangga nada, jalur seni, cukup dihargai di Indonesia. Seniman, walaupun dengan pengajuan yang tak digubris bertahun-tahun dan seleksi yang lebih ketat daripada pahlawan perang bersenjata, juga bisa mendapat gelar terhormat pahlawan nasional.

Kemarin giliran Ismail Marzuki dan Raja Ali Haji. Bahkan sampai ke Kyoto pun, mewakili Indonesia untuk dunia, akan berarti sumbangan tenaga membantu Konsulat Jenderal RI mengamen di panggung pertunjukan ataupun tengah jalan.

Apakah pahala ini diterima? Adakah para politisi itu menikmati dengan tulus? Adakah hiburan ini mencerahkan pikiran mereka dan memuluskan berbagai negosiasi? Yahaha, soko made ha muri kamo.



Ini adalah perihal pilihan hidup.
Kau acungkan tangkai zaitun itu,
kami goyangkan tabung bambu ini.


Selasa, 09 November 2004

The West Frontier

Seorang bapak setengah baya berwajah bulat ceria dari lab sebelah, baru bisa bahasa Jepang sepatah dua, dan sama sekali tak bisa berbahasa Inggris.
Di sebuah acara mochitsuki yang diselenggarakan jurusan untuk mahasiswa asing, kami berkomunikasi dibantu rekannya, Hong.
"Lihat," katanya padaku, menunjukkan daftar hadir. "Kewarganegaraan saya ditulis Cina. Padahal kan bukan. Mereka tak bisa membedakan." Yah, melihat mata besar, kumis tebal, dan nama Arabnya: Ibrahim, takkan ada yang percaya pada daftar hadir itu.
"Ah itu maunya kamu saja, kalau memang berwarganegara Cina, mengakulah. Terima saja kenyataan ini, nikmati!" tegur Hong agak sinis.
"Oh ya, lalu sebenarnya orang apa?" Aku bertanya dengan berbagai isyarat percuma, yang ternyata berhasil juga diterjemahkan oleh Hong.
"Saya tinggal di Uzbekistan. Tapi saya orang Uygur."
"Uygur?... Uygur? Saya juga kenal orang Uygur, namanya Salina. Aslinya Saltanat Ubrayim. Kami sering berjumpa dalam kegiatan kebudayaan, dia suka menari."
"Salina? Itu adik saya! Adik kandung saya! Kan Ibrahim itu nama keluarga kami, nama ayah."
"..."

Mungkin memang orang Uygur itu sedikit, dan lebih sedikit lagi yang datang ke Kyoto. Hanya tujuh yang saya kenal, dibandingkan seratus orang Indonesia. Usut punya usut, Ibrahim bukan mahasiswa atau peneliti di lab sebelah, tapi hanya menumpang belajar bahasa Jepang, dengan penjamin seorang Sensei desain proses lingkungan saya, associate professor di sana, yang kebetulan adalah kenalan baik suami Salina. Si abang ini telah berkeluarga di Uzbekistan, namun ketidakmampuannya berbahasa Inggris dan kewarganegaraan Cinanya malah menjadi penghalang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di perusahaan pribumi. Maka ia belajar bahasa Jepang agar dapat diterima oleh perusahaan Jepang yang cenderung lebih tidak rasialis, penuh tenggang rasa dan bergaji manusiawi.

Salina, adiknya, cantik putih, sedikit sipit namun bermata biru, adalah wanita yang supel, peneliti bahasa Uygur di Kyoto University yang sangat bersemangat menyelenggarakan kegiatan budaya Uygur di setiap acara pertukaran kebudayaan. Saat Ibrahim berhasil datang ke Kyoto, ia dan keluarganya, suami dan seorang putra balita yang bermata biru juga, telah terlanjur pindah menjadi peneliti di Yokohama, namun masih tetap menyempatkan diri mengumpulkan beberapa rekan Uygur untuk tampil menari di International Community House.
Aku yang kebetulan tampil dalam mata acara berbeda, mengajar angklung untuk anak-anak, diminta membantunya memperagakan busana khas negerinya sebelum mereka mulai menari.

"Manik-manik dan mote-mote pada rompi ini buatan murahan, yang asli adalah dari emas permata, namun tentu saya tak sanggup membelinya, mahal dan takut hilang," kisahnya dalam perkenalan busana sebelum masuk ke mata acara utama, tarian. Ia menyingkapkan gaunnya yang terbuat dari sutra celupan asli, memamerkan sepatu buts kulit anggun dan celana panjang sutra bermotif khas negerinya.
"Dan celana ini, harus selalu dipakai kaum perempuan yang bergaun sekalipun, untuk kesopanan kalau menunggang kuda."

Lalu ia melepaskan topi musangnya yang lembut, "Topi bulu ini benda langka, milik nenekku turun temurun. Uygur punya banyak jenis topi yang mirip dengan Turki, karena merupakan perlintasan jalur sutra," jelasnya sambil mengeluarkan topi-topi dengan sulaman persis Aceh. Kemudian ia mulai mengatur rekan-rekannya berbaris dan mulai menari dengan anggun dan cekatan.

"Baiklah para penonton, tepuk tangan untuk pertunjukan rekan-rekan pelajar asing dari Cina." Suara MC menggema ke seluruh aula.

Di belakang panggung, Salina menoleh ke arahku, dan memegang pundakku kuat-kuat. Matanya menyala-nyala.
"Mereka bilang begitu, apa boleh buat, karena kini kami terjajah. Tapi kamu harus tahu, kami BUKAN orang Cina. Bukan bagian dari Cina. Kami bangga sebagai bangsa Turkistan. Camkan itu. Kami punya ras, budaya, dan bahasa yang sangat berbeda. Kami..."
Aku terpana melihat kehalusannya yang berubah menjadi garang. "Aku paham, Salina. Aku kan muslim..."

Uygur, suku bangsa di propinsi Xinjiang, "batas paling barat" Cina, merupakan sebuah komunitas Islam yang memiliki akar peradaban Turki, sehingga desakan untuk memisahkan diri dari Cina lebih kuat daripada suku Cina Muslim lain yang dominan, yaitu bangsa Hui. Karena satu keturunan dengan bangsa Han, bangsa Hui telah berabad-abad membaur dan memperoleh kemudahan beragama untuk mendirikan masjid, menjaga kehalalan makanan dan dilindungi hak-hak kewarganegaraannya oleh undang-undang negara Cina. Sementara Uygur, dengan kekhasannya sendiri, hingga kini masih sibuk melawan penindasan di ujung sana.
Indonesia, dengan kebijakan "Satu Cina", tidak akan mau mendukung upaya yang menjurus pada memerdekakan diri, takut menjadi tolok ukur terhadap kemerdekaan Aceh atau Papua.

Yah, tentu sebaliknya kaum muslim juga punya sifat SARA, dengan menimpakan dendam kesumat berabad-abad pada orang-orang Yahudi misalnya (sebagai Agama atau sebagai Ras?)
Atau yang lebih remeh-temeh seperti apa yang selalu saya ucapkan:
"Jangan panggil aku mBak! Aku bukan orang Jawa. Camkan itu."
Tohohohoho (^-^;v

Sabtu, 06 November 2004

Budaya Boga

Ramadhan, shaum dan tatacara makan orang Muslim, tentu banyak menimbulkan rasa ingin tahu dan penasaran teman sekelas, dosen, ibu kos, tuan rumah tempat bertamu, rekan kerja, atasan atau kenalan Jepang lainnya.

Mungkin mereka tak sadar bahwa berpuasa seharusnya bukan hal yang aneh karena juga ada dalam ajaran Buddha dan agama lain.

Acara tahunan buka bersama dalam bentuk Islamic Food Festival diselenggarakan oleh Kyoto Muslim Association di KICH, adalah salah satu kesempatan langka untuk mengundang mereka menghadiri penjelasan mengenai itu semua. Saat yang tepat untuk memperlihatkan sisi Islam yang sebenarnya kepada masyarakat Jepang Kyoto secara berkesinambungan, melalui hal yang paling esensial dalam perikehidupan manusia: Budaya Boga, alias makanan.

Para anggota KMA yang rata-rata berstatus mahasiswa asing dari mancanegara, menyediakan waktu di salah satu akhir pekan setiap bulan Ramadhan, demi memasakkan makanan lezat dan bermutu khas daerah masing-masing untuk dimakan bersama secara cuma-cuma. Orang Indonesia yang jumlahnya terbanyak, mendapat beban memasak lebih banyak juga, apalagi karena sebagian besar rewel tak bisa memakan masakan negara lain (heran, padahal enak-enak lho). Beban ini dibagikan kepada 5 atau 6 keluarga, sementara yang lain menyumbang nasi, bahan mentah atau uang untuk menutup biaya selebihnya. Keahlian khusus saya (maksudnya karena gampang buatnya) adalah pisang goreng, kolak, soto atau sambalado.

Sedikitnya sekitar 140 orang Jepang hadir untuk kegiatan tahun ini. Seperti biasa, sejak sekitar jam 3 sore para undangan akan duduk rapi untuk mendengarkan ceramah singkat dan diskusi mengenai budaya Islam secara garis besar, yang disampaikan oleh orang Jepang sendiri, agar mudah dipahami.

Profesor Kosugi Yasushi alias Yasir Abdullah, pakar dari Pusat Studi Asia-Afrika di Kyoto Univ, adalah penanggung jawab acara yang akan merekomendasikan penceramah yang tampil dari jaringan kenalannya. Bisa seorang ahli bahasa, pakar ekonomi perminyakan, sejarawan, atau beliau sendiri, yang kebetulan cukup punya nama dan sudah terbiasa tampil di depan televisi, bahkan diangkat menjadi penasihat Kaisar mengenai dunia Islam.

Diterangkan bahwa tanpa mereka sadari, budaya Islam sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan orang Jepang, baik dalam hal disiplin, kebersihan, kejujuran, dan telah masuk ke tengah-tengah mereka melalui interaksi dengan dunia ilmiah Barat, dalam aljabar, kedokteran, dan barang impor seperti kopi atau lemon.

"Ucapkanlah assalaamualaikum, dan sebuah dunia baru akan menyambutmu dengan hangat bersahabat."

Tanya jawab yang menarik dilaksanakan dengan tertib sampai menjelang buka, dan mereka dipersilakan menikmati tajil berupa kurma, kue-kue atau kolak bersama para panitia.
Ketika para panitia shalat maghrib berjamaah, mereka dipersilahkan beristirahat sambil mengamati. 


Kemudian kembali antre makan malam di ruang lainnya, sambil berinteraksi dengan para anggota KMA yang menghidangkan makanan, sekaligus melayani berbagai tanya jawab seputar makanan dan isu-isu keislaman.
Banyak juga yang berminat menghadiri kelas memasak hidangan Islami, bila KMA menyelenggarakannya. Yahaha, kapan ya. Bahkan ada yang mencaplok resep hidangan untuk kegiatan komersial!

Yah biarlah. Yang penting, mereka merasakan keramahtamahan Islam melalui kegiatan Ifthar Party ini. Memahami makna Ramadhan dan keuntungan berpuasa. Menemukan wajah Islam yang lebih nyata, mengikis bayangan teroris yang digembar-gemborkan media massa.

KMA sedang sibuk mengumpulkan dana pembangunan Masjid Kyoto. Sebagai kota dengan seribu kuil, baik tera, jinja, maupun gereja, masa belum punya masjid satu pun, cuma mushala mungil di pojokan. Ayo siapa mau menyumbang?